Rabu, 10 Agustus 2011

Surat Gembala Hari Raya Kemerdekaan RI ke 66

MENJADI UMAT KATOLIK ‘BAJIK’
SEBUAH WUJUD CINTA AKAN TANAH AIR
 
“Irisan itu tidak perlu besar, ... irisan kecil saja
akan mampu membawa kebajikan untuk semua...”


Saudari-saudaraku yang terkasih dalam Tuhan,

Sebagai orang beriman kita menyadari betul, bahwa peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, bukanlah sekedar peristiwa sejarah bangsa, tetapi adalah peristiwa sejarah keselamatan, karena dalam peristiwa tersebut Allah meyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang Mahaesa, pemersatu, dan pembebas yang mengantar bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak dasar manusia dalam berkehidupan.

Pada tanggal 17 Agustus 2011 ini bangsa Indonesia memperingati 66 tahun merdeka. Sepanjang kurun waktu 66 tahun tersebut, hanya cinta akan tanah airlah yang membuat bangsa ini mampu tegak berdiri menyongsong kehidupan yang lebih baik. Mgr. Albertus Soegijapranata pernah mengungkapkan bahwa, cinta akan tanah air terwujud dalam usaha keras membuat bangsa ini ‘terhitung’, dihargai, dan berarti.

Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS) adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia yang majemuk, dalam budaya dan suku bangsa, dengan beragam agama dan kepercayaan yang dianut. Sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang mendiami sebuah pulau besar dan padat, pulau Jawa, dengan luas 134,045 km2, dan didiami lebih dari 130 juta jiwa, umat Katolik KAS pasti hidup berdampingan dengan orang-orang lain yang beragam watak dan tabiatnya. Tidak selamanya hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dipahami sebagai proses dinamis yang membutuhkan sikap saling mengasihi dan menghormati. Sebaliknya, berbagai gejolak dinamika dalam masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kita merenungkan lebih dalam, peran dan kontribusi apakah yang dapat diberikan umat Katolik KAS?

Gereja mengajarkan, bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan bangsa adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus juga (bdk. Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II, 7 Desember 1965). Solidaritas sedemikian itu telah kita nyatakan dalam Arah Dasar KAS 2011-2015. Kita umat Allah KAS adalah persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus, yang dalam bimbingan Roh Kudus, berupaya menghadirkan Kerajaan Allah sehingga semakin signifikan dan relevan bagi warganya dan masyarakat (bdk. Ardas KAS 2011-2015, alinea 1).

Sebagai bangsa merdeka, umat Katolik KAS perlu menjadi umat Katolik ‘bajik’ sebagai perwujudan cinta akan tanah air untuk menjadikan bangsa Indonesia ini ‘terhitung’, dihargai, dan berarti. Umat Katolik ‘bajik’ akan selalu menghadirkan Kerajaan Allah dalam segala situasi, dan menjadi pelaku perubahan untuk menuju kebajikan. Perubahan menuju kebajikan adalah suatu bentuk kesadaran dan kepedulian akan tanda-tanda perubahan zaman dalam terang Injil, seperti yang diamanatkan dalam Ajaran Sosial Gereja.

Saudari-saudaraku yang terkasih dalam Tuhan,

Pada tahun ini kita memperingati 120 tahun ensilikik “Rerum Novarum” (Paus Leo XIII, 15 Mei 1891), yang memuat ajaran Gereja, bagaimana Gereja menyikapi hal-hal baru dalam dunia modern. Menyikapi segala pergolakan dunia modern, umat Katolik ‘bajik’ akan berlaku dan melakukan segala kebaikan sebagai murid-murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus, untuk mencapai kebajikan sejati dalam Allah. Dalam terang Ajaran Sosial Gereja itu umat Katolik sebagai bagian dari masyarakat memperoleh ‘irisan’ yang dapat menjadi penentu keberlanjutan kehidupan bangsa. “Irisan itu tidak perlu besar, ... irisan kecil saja akan mampu membawa kebajikan untuk semua...”

Bencana erupsi Merapi (Oktober 2010 - Januari 2011) mampu memberikan makna mendalam tentang irisan dan masyarakat ‘bajik’ yang cinta akan tanah air. Ternyata bencana erupsi Merapi tersebut justru menjadi ‘irisan’ dari berbagai kelompok masyarakat untuk berlomba-lomba mendatangkan kebajikan bagi semua pihak. Umat Katolik KAS berperan sungguh dalam bencana erupsi Merapi, dengan memberikan dirinya hadir sebagai upaya menghadirkan Kerajaan Allah dengan membuat perubahan yang ‘revolusioner’. Perubahan revolusioner tersebut, misalnya terwuju dalam peran berbagai pihak, yang juga melibatkan dunia perguruan tinggi, yang ajur ajer bersama dengan sedulur Merapi menangani bencana. Kehadiran kelompok masyarakat ‘bajik’ inilah yang ingin membawa kebajikan dalam hal hidup berdampingan dengan bencana Merapi.

Cinta akan tanah air, dalam carut marut masyarakat yang sudah lelah dijejali kasus-kasus korupsi, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan gender, pemaksaan kehendak, kebohongan publik, penafian arti keberagaman dan kebebasan beragama, adalah keniscayaan. Bangsa dan negara Indonesia yang merdeka membutuhkan bentuk nyata untuk mewujudkan cintanya pada tanah air. Di titik inilah, umat Katolik ‘bajik’ berperan menciptakan irisan yang berarti, agar bangsa dan negara ini ‘terhitung’, dihargai, dan berarti.

Saudari-saudaraku yang terkasih dalam Tuhan,

“Irisan itu tidak perlu besar, ... irisan kecil saja akan mampu membawa kebajikan untuk semua...” Itulah yang diperoleh oleh Maria, hamba Allah dan bunda Gereja. Perannya sebagai orang beriman yang bajik merupakan bagian penting dalam sejarah keselamatan bangsa, yang berdampak pada perubahan yang ‘revolusioner’. Karena kesediaannya yang tulus Maria diangkat ke surga, dan dengan demikian menjadi teladan abadi bagi muridmurid Yesus Kristus. Dengan pengantaraan Kristus itulah bagi bangsa Indonesia Allah adalah Tuhan yang Mahaesa, pemersatu dan pembebas bangsa dari ancaman kehancuran Indonesia.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-66 !!! 100% Katolik, 100% Indonesia! Marilah kita menjadi umat Katolik KAS ‘bajik’, yang membawa kebajikan bagi bangsa dan negara Indonesia.



Salam, doa dan Berkah Dalem,

Semarang, 10 Agustus 2011

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar