Sabtu, 10 September 2011

REPUTASI

Pergeseran Geopolitik Global dan Hilangnya Reputasi
Reputasi  menurut J.S. Badudu berarti: nama yang baik (karena pekerjaan atau karier). Seorang dokter mendapatkan reputasi baik di mata masyarakat karena selain trampil dan selalu professional dalam menjalankan tugas ia juga tidak berperilaku aneh-aneh yang di luar tata krama pada umumnya. Seorang Pele mempunyai reputasi yang tidak lekang karena waktu meski ia sudah tidak lagi aktif di lapangan hijau. Atau contoh-contoh lain yang ada di sekitar kita. Jauh di luar sana, Deng Xiao Ping jelas reputasinya sebagai pemimpin RRC gaungnya melebih teritori negaranya. Demikian juga Ahmadimejad bagi sementara kalangan sampai Margaret Thatcher bagi kalangan tertentu juga. Orang memang tidak akan kenyang karena reputasi, tetapi jauh di lubuk hati kebanyakan orang, kebanyakan orang mestilah menginginkan adanya seorang pemimpin yang mempunyai reputasi.

Apalagi di jaman atau era transisi sekarang ini, yang sering secara sempit hanya dimaknai sebagai era transisi demokrasi (dari otoritarianisme Orde Baru). Secara sempit karena sering melupakan bahwa Indonesia juga hidup dalam pergaulan dunia yang sedang juga masuk dalam era transisi, yaitu pergeseran geopolitik global, pergeseran dari era Atlantik ke era Pasifik. Di dalam masa (terlebih-lebih) transisi ini jelas kehadiran sekelompok pemimpin semestinya dapat menjadi sebuah mercusuar bagi kebanyakan rakyat yang dipimpinnya, dan salah satu batu pondasi penting bagi tegaknya mercusuar itu adalah: reputasi.
Dengan adanya reputasi yang melekat pada diri seorang pemimpin akan banyak waktu dan tenaga yang dapat dijalani secara efisien dalam komunitas bersama. Reputasi akan dapat menjadi ladang yang luas bagi tumbuhnya trust, saling percaya. Trust ini jelas dan telah terbukti pada komunitas-komunitas tertentu telah mampu meng-efisienkan hidup bersama dan memberikan modal survival di tengah-tengah banyak ketidak-pastian, atau katakanlah di masa transisi ini.
Melihat pemimpin-pemimpin muda atau elit-elit politik muda yang ada sekarang ini, yang sering muncul di media atau yang kadang-kadang muncul, kita sebenarnya banyak berharap melihat reputasi mereka di masa-masa lalu, baik yang dapat kita lihat saat berhadapan dengan rejim otoritarian Orde Baru atau saat Orde Baru tumbang dan masa-masa setelah itu. Tetapi dalam banyak hal kita juga menjadi prihatin ketika reputasi itu ternyata satu demi satu dengan berbagai alasan dan peristiwa serta perilaku mereka sendiri, satu per satu rontok. Godaan bergelimpangannya hidup dengan berbagai kemudahan dan kemewahan rupanya merupakan godaan yang sulit ditolak, bahkan dengan reputasi yang sudah dipunyainya itu. Sayang memang.
Sementara bagi yang naik menjadi elit-elit politik dengan bahkan tanpa reputasi yang jelas, atau oleh Shindunata disebut sebagai “genderuwo-genderuwo” yang tidak jelas ‘sangkan-paran’-nya di dunia politik, boro-boro membangun reputasi baru, banyak yang ternyata bahkan justru menjadi sampah yang menumpuk di depan halaman NKRI ini, meski juga kita tidak boleh lupa memberikan apresiasi bagi yang berhasil membangun reputasi.
Mungkin kita sebagai rakyat semakin frustasi melihat banyaknya para elit politik kita yang dengan sangat mudah mencampakkan atau mengubur kosa kata reputasi. Tetapi meskipun demikian, katakanlah kita melihat pertaruhan besar jika dikaitkan dengan pergeseran geopolitik global, relakah kita sebagai bangsa yang jumlahnya nomer 4 di dunia ini hanya berdiri berjejer sebagai penonton saja? Bahkan duduk sebagai penonton ketika pendulum global mulai mendekat ke wilayah NKRI ini? Maka, pertama-tama, mari kita kubur orang-orang yang tidak tahu kata reputasi itu, baik tua maupun muda, dan kita bangun bersama-sama “real-politiek” yang tahu bagaimana menghargai sebuah reputasi –di mana ia akan menjadi salah satu pondasi penting bagi bangsa Indonesia menghadapi segala perubahan internal maupun eksternal yang dihadapi NKRI. *** (Greg - 9/9/2011)
www.pergerakankebangsaan.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar